Sidoarjo - Pembahasan terkait bagi hasil pengelolaan Terminal Purabaya antara Surabaya-Sidoarjo kembali Deadlock. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tetap meminta bagi hasil (sharing) Terminal Purabaya secara bruto (kotor), sementara Pemerinta Kota (Pemkot) Surabaya menolaknya.
Sikap Sidoarjo menuai reaksi keras dari sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot). Salah satunya M Taswin, Asisten II (Kesra) Sekkota. Dia mengatakan, kengototan Pemkab Sidoarjo itu perlu dipertanyakan. Terutama terkait dasar hukum yang digunakannya.
Semestinya, kata dia, jika memang Sidoarjo tidak terima dengan bagian yang diterima selama ini, dia bisa mengirimkan tim audit. “Saya pastikan, di belahan dunia manapun tidak akan ditemui bagi hasil dilakukan secara bruto,” tegas M. Taswin.
Kalau tidak percaya, katanya, Sidoarjo bisa kirimkan tim audit ke Surabaya. Apalagi, berdasarkan hasil konsultasi yang dilakukan Pemkot dengan salah seorang tenaga ahli dari Universitas Airlangga (Unair), secara tegas dinyatakan, bagi hasil bruto itu tidak diperbolehkan. Karena, telah melanggar sistem administrasi.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pakar pada Pemkot, tambah dia, seharusnya pendapatan yang dihasilkan dikurangi terlebih dahulu untuk biaya operasional. Setelah itu, keuntungan yang didapat baru dibagi oleh kedua belah pihak. “Kalau sekarang, saya melihatnya awur-awuran. Coba ditanya apa dasar Pemkab Sidoarjo meminta bagian bruto seperti sekarang,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar Pemkab Sidoarjo dan Pemkot Surtabaya, kembali dipertemukan ulang. Dengan harapan, keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut dapat menguntungkan ke dua belah pihak. “Biar tidak ada saling curiga dan transparan. Saya berharap ada pertemuan lanjutan,” harap pria yang juga merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Asisten II Bidang Pembangunan ini.
Sementara itu, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Hendro Gunawan menyatakan, sebenarnya Pemkot tidak pernah dirugikan dalam bagi hasil Terminal Purabaya. Meski demikian, dengan permintaan pembagian hasil secara bruto itu yang membuat Pemkot keberatan.
Hendro Gunawan menegaskan, sebenarnya konsep bagi hasil Terminal Purabaya telah selesai dibuat oleh Pemkot. Namun, tiba-tiba ada permintaan koreksi yang diajukan Pemkab Sidoarjo. Diantaranya, beberapa pasal yang dianggap kurang tepat. “Pasal yang minta direvisi ada banyak. Tapi, dalam setiap pasal hanya sedikit-sedikit yang diminta untuk diperbaiki,” ungkap Hendro Gunawan.
Menurut Hendro Gunawan, salah satu jalan terbaik yang dapat ditempuh kedua belah pihak dalam sharing terminal Bungurasih, adalah dengan melakukan penghitungan secara bersama-sama. Sebab jika masing-masing pihak masih bersikukuh pada hasil hitungan yang dibuatnya, maka akan sulit ditemukan titik temu.
“Kita akan minta agar dihitung ulang. Dengan cara itu, saya berharap akan diketahui kira-kira apa win-win solution bagi ke dua daerah,” tandasnya.
Dalam mekanisme penghitungan bagi hasil Terminal Purabaya, menurutnya ada banyak aspek yang perlu diperhitungan. Misalnya, jumlah karyawan, biaya kebersihan, penghasilan dari parkir serta retribusi lainya. Dari sana, baru bisa dihitung berapa cost dan penghasilan yang diperoleh.
“Kalau kita, jelas meminta yang terbaik. Baik untuk Kota Surabaya maupun Kabupaten Sidoarjo. Tapi, apa yang terbaik bagi Pekot Surabaya belum tentu baik bagi Pemkab Sidoarjo,” terangnya.
Atas kondisi itu membuat kalangan DPRD Surabaya prihatin. Dewan berharap kedua belah pihak tetap memcahkan persoalan bagi hasil pengelolaan Purabaya dengan kepala dingin, sehingga menuai hasil yang baik. Namun, tampaknya keduanya masih memilik pendapat berbeda, sehingga hingga detik ini belum ada titik temunya alias deadlock. “Yang kami ketahui seperti itu, komunikasinya buntu lagi alias deadlock,” ungkap Ketua DPRD Surabaya, Moch. Machmud, Senin (29/7).
Sumber : Surabayapost
Sikap Sidoarjo menuai reaksi keras dari sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot). Salah satunya M Taswin, Asisten II (Kesra) Sekkota. Dia mengatakan, kengototan Pemkab Sidoarjo itu perlu dipertanyakan. Terutama terkait dasar hukum yang digunakannya.
Semestinya, kata dia, jika memang Sidoarjo tidak terima dengan bagian yang diterima selama ini, dia bisa mengirimkan tim audit. “Saya pastikan, di belahan dunia manapun tidak akan ditemui bagi hasil dilakukan secara bruto,” tegas M. Taswin.
Kalau tidak percaya, katanya, Sidoarjo bisa kirimkan tim audit ke Surabaya. Apalagi, berdasarkan hasil konsultasi yang dilakukan Pemkot dengan salah seorang tenaga ahli dari Universitas Airlangga (Unair), secara tegas dinyatakan, bagi hasil bruto itu tidak diperbolehkan. Karena, telah melanggar sistem administrasi.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pakar pada Pemkot, tambah dia, seharusnya pendapatan yang dihasilkan dikurangi terlebih dahulu untuk biaya operasional. Setelah itu, keuntungan yang didapat baru dibagi oleh kedua belah pihak. “Kalau sekarang, saya melihatnya awur-awuran. Coba ditanya apa dasar Pemkab Sidoarjo meminta bagian bruto seperti sekarang,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar Pemkab Sidoarjo dan Pemkot Surtabaya, kembali dipertemukan ulang. Dengan harapan, keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut dapat menguntungkan ke dua belah pihak. “Biar tidak ada saling curiga dan transparan. Saya berharap ada pertemuan lanjutan,” harap pria yang juga merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Asisten II Bidang Pembangunan ini.
Sementara itu, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Hendro Gunawan menyatakan, sebenarnya Pemkot tidak pernah dirugikan dalam bagi hasil Terminal Purabaya. Meski demikian, dengan permintaan pembagian hasil secara bruto itu yang membuat Pemkot keberatan.
Hendro Gunawan menegaskan, sebenarnya konsep bagi hasil Terminal Purabaya telah selesai dibuat oleh Pemkot. Namun, tiba-tiba ada permintaan koreksi yang diajukan Pemkab Sidoarjo. Diantaranya, beberapa pasal yang dianggap kurang tepat. “Pasal yang minta direvisi ada banyak. Tapi, dalam setiap pasal hanya sedikit-sedikit yang diminta untuk diperbaiki,” ungkap Hendro Gunawan.
Menurut Hendro Gunawan, salah satu jalan terbaik yang dapat ditempuh kedua belah pihak dalam sharing terminal Bungurasih, adalah dengan melakukan penghitungan secara bersama-sama. Sebab jika masing-masing pihak masih bersikukuh pada hasil hitungan yang dibuatnya, maka akan sulit ditemukan titik temu.
“Kita akan minta agar dihitung ulang. Dengan cara itu, saya berharap akan diketahui kira-kira apa win-win solution bagi ke dua daerah,” tandasnya.
Dalam mekanisme penghitungan bagi hasil Terminal Purabaya, menurutnya ada banyak aspek yang perlu diperhitungan. Misalnya, jumlah karyawan, biaya kebersihan, penghasilan dari parkir serta retribusi lainya. Dari sana, baru bisa dihitung berapa cost dan penghasilan yang diperoleh.
“Kalau kita, jelas meminta yang terbaik. Baik untuk Kota Surabaya maupun Kabupaten Sidoarjo. Tapi, apa yang terbaik bagi Pekot Surabaya belum tentu baik bagi Pemkab Sidoarjo,” terangnya.
Atas kondisi itu membuat kalangan DPRD Surabaya prihatin. Dewan berharap kedua belah pihak tetap memcahkan persoalan bagi hasil pengelolaan Purabaya dengan kepala dingin, sehingga menuai hasil yang baik. Namun, tampaknya keduanya masih memilik pendapat berbeda, sehingga hingga detik ini belum ada titik temunya alias deadlock. “Yang kami ketahui seperti itu, komunikasinya buntu lagi alias deadlock,” ungkap Ketua DPRD Surabaya, Moch. Machmud, Senin (29/7).
Sumber : Surabayapost
Biasakanlah berkomentar dengan bahasa yang baik.
Komentar Sara, link, atau tidak pantas, masuk folder spam.